7. Terjatuh ke Ruang Altar

Tiba-tiba, lantai ruang jimat tempat Momo berpijak berubah menjadi pasir hisap yang mulai menarik kakinya ke bawah. Naki menyebut bahwa ular besar sedang kelaparan. Bersama lima paman tua dari keluarga Kito, Naki menyaksikan dari luar tembok yang berlubang, melihat Momo dan Nenek Turbo yang panik karena hampir tersedot. Naki menjelaskan bahwa siapa pun yang tertelan oleh pasir itu akan otomatis menjadi tumbal makanan ular besar.

Okarun dan Jiji siuman, lalu mendorong sofa hingga menindih Naki dan kelima paman tua. Mereka terus menahannya agar Naki dan para paman itu tidak bisa bergerak. Okarun mengulurkan tangan ke arah Momo, dan Momo segera meraihnya. Okarun berusaha menarik tubuh Momo agar tidak terhisap ke dalam pasir, sementara Jiji sibuk menghadang empat bibi tua yang berusaha membebaskan rekan-rekan mereka dari tumpukan sofa.

Namun, dinding ruangan tiba-tiba roboh. Keseimbangan pun goyah, hingga seluruh keluarga Kito, Jiji, dan Okarun terseret jatuh bersama Momo ke dalam pasir hisap.

Setelah tertelan, mereka semua mendarat di atas atap sebuah rumah. Ternyata, mereka berada di ruang bawah tanah yang sangat luas, dipenuhi beberapa rumah dari berbagai zaman yang tertimbun di dalamnya. Momo mendongak ke atas dan menyadari bahwa mereka jatuh sangat jauh dari ruang jimat di rumah Jiji.

8. Ular Tsuchinoko

Namun, Jiji justru terlempar dan mendarat tepat di punggung ular Tsuchinoko, membuat Momo dan Okarun terperanjat melihat makhluk raksasa itu. Seluruh keluarga Kito segera berdiri dan membentuk pose nyentrik, konon untuk “menyambut” sang ular sekaligus menghindari dirinya dimangsa.

Dengan kekuatan tangan auranya, Momo berhasil menarik tubuh Jiji. Jiji pun akhirnya berdiri bersama Okarun dan Momo di atas atap rumah.

Momo dan Jiji terkejut saat menyadari bahwa ular raksasa itu benar-benar ada, bukan sekadar mitos daerah. Nenek Turbo menyebut namanya Kuragari, sementara Okarun menyebut itu mirip dengan cacing maut Mongolia yang muncul di sampul buku UMA—buku yang pernah mereka baca bersama Jiji saat dalam perjalanan kereta.

Okarun terheran-heran, karena dalam buku itu tertulis bahwa ukuran cacing maut hanya mencapai dua meter. Namun, yang mereka lihat sekarang sangat panjang dan berukuran raksasa.

Momo pun menyimpulkan, selama 200 tahun keluarga Kito ternyata tidak memberi tumbal kepada dewa ular, melainkan hanya memberi makan seekor cacing pemakan manusia.